Sunday, November 11, 2012

at ta’rif qobla taklif (Pengenalan sebelum pembebanan)

Sejatinya, siapa saja yang pernah membuka hati kita? Atau, apa saja yang pernah kita gunakan untuk membuka hati kita, agar menerima kebenaran konsepsi Islam, agar masuk dalam rumah Islam yang penuh cahaya? Juga, cara apa yang pernah kita gunakan untuk membuat kita tunduk, sujud, menyungkur, menghamba hanya kepada Allah saja ? Siapa saja dan apa saja itu?

Dengan metode apakah kita pernah sanggup melunakkan hati ini agar bersedia melepaskan segala keangkuhan diri? Dengan apakah kita pernah sanggup meremehkan segala angan-angan materialistis? Dengan bekal apakah kita pernah menghiasi hati ini agar memiliki kelembutan dalam merasakan, ketegasan dalam memilahkan, ketajaman dalam merencanakan, kebeningan dalam menimbang, ketepatan dalam memutuskan? Dengan sistem apa kita pernah bias menjinakkan hati ini agar memiliki berbagai keindahan penampilan, agar menghias diri ini dengan sifat malu, agar memagari diri dengan bashirah, agar menyelimuti diri dengan sikap amanah?

Apakah yang pernah mampu memasukkan rasa tenteram dan damai dalam hati seseorang, sehingga ia tenang dalam keislamannya? Apakah yang pernah mampu memasukkan rasa senang dan gembira dalam jiwa ini, sehingga kita pernah merasa ringan dalam meniti jalan dakwah yang dipilihnya? Siapakah yang pernah mampu merembeskan kasih sayang dalam dada kita, sehingga kita menjadi teduh dan tenang dalam gerakannya? Siapa pula yang pernah mampu menaburkan benih-benih kekuatan dan ketegaran dalam lubuk hati kita, sehingga kita rela mengorbankan diri, harta, waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan jiwanya hanya untuk membela jalan Allah?

Siapakah yang pernah bisa menanamkan rasa cinta dalam rongga pikiran dan hati kita sehingga kita bisa terikat dalam jalinan ukhuwah dengan saudara-saudaranya seiman dan sejalan perjuangan? Siapa pula yang pernah menabur benih benci dan permusuhan dalam sanubari kita, sehingga kita pernah piawai menolak dan memerangi segala ajakan hawa nafsu dan kesesatan?

Siapakah itu dan apakah itu?

Rasanya murabbi kita dan halaqoh kita dahulu pernah melakukan sesuatu yang membuat sebagian kita pernah bisa melakukan sesuatu yang mulia dan pernah piawai meninggalkan sesuatu yang rendah.

Dia pernah ada dalam sebagian hidup kita. Dia adalah sebagian yang pernah ada dalam hidup kita. Dia pernah ada di sebagian dari kita. Pernah ada.

Lalu tiba masanya
Lalu tiba masanya, dia tak lagi menarik. Tak lagi menawan. Terlihat mulai belepotan. Terlihat sedikit coreng di mukanya. Seiring dengan coreng yang juga ada di muka kita sendiri.

Lalu tiba masanya, kita juga harus bergerak seperti geraknya. Kita harus menari seperti tariannya. Lalu tiba saatnya kita harus menyuarakan sesuatu yang berasal darinya. Lalu tiba saatnya, kita harus melaju dan dinilai.
Lalu datang masanya, kita merasakan keringlah majlis itu. Ia tak lagi sejuk. Sejuk dalam sebagian artinya adalah menyajikan banyak ilmu tanpa tuntutan gerak. Dan tak sejuk lagi adalah adanya tuntutan untuk menyuarakan apa yang berasal darinya kepada yang lain. Lalu tiba masanya, kita merasakan keringnya majlis itu. Kering pada sebagian arti yang kadang kita sembunyikan adalah adanya karena adanya tuntutan untuk bergerak, tak cuma duduk mendengar untaian kalimat indah.

Lalu tiba masanya kita seperti didikte. Lalu tiba masa masa sulit mengendalikan hasrat materi kita. Lalu tiba masanya kita sulit bergerak lincah seperti di kemudaan kita. Lalu, tiba tiba saja, kita menjadi lebih pintar melihat kekurangannya. Dia memang tak lagi terampil menyajikan solusi, tapi masalah kita menjadi liar dan meluas secara cepat. Lalu, tiba tiba saja, kita melihat ketidakberdayaannya dan ia tak lagi menarik.

Dia pernah ada dalam sebagian hidup kita
Tapi dia pernah ada dalam sebagian hidup kita. Dia adalah sebagian yang pernah ada dalam hidup kita. Dia pernah ada di sebagian dari kita. Dia pernah sedemikian dekat dengan dinding kamar kost, dengan kursi kuliah kita, dengan tumbukan buku kita, dan ia pernah ada disekitar indera kita. Pernah ada.

Mari mengingatnya kembali.

Halaqah Tarbawiyah
Halaqah Tarbawiyah adalah proses tarbiyah secara rutin dalam dinamika kelompok untuk mencapai ahdaf (tujuan-tujuan yang hendak dicapai) melalui berbagai program dan ketentuannya. Murabi bisa mentarbiyah mutarabi sesuai kesanggupan optimalnya mengelola forum; baik dari segi jumlah personal dalam satu kelompok maupun jumlah kelompok halaqah tarbawiyah yang ditanganinya.

Murabi (Pembina) adalah seseorang yang melakukan program tarbiyah sesuai dengan tahapnya. Kata ini digunakan untuk menunjukkan sekaligus murabi (laki-laki) dan murabiyah (perempuan). Mutarabi adalah seseorang atau sekelompok orang yang tengah mengikuti program tarbiyah. Kata ini digunakan untuk menunjukkan sekaligus mutarabi dan mutarabiyah.
Indikasi keberhasilan tarbiyah dapat dilihat pada tercapainya tujuan-tujuan (ahdaf) dan muwashafat setiap tahap sesuai target waktu. Muwashafat adalah sifat-sifat yang diharapkan muncul pada diri peserta tarbiyah selama masa pentarbiyahan sesuai tahapnya Dengan demikian, yang menjadi pokok perhatian dalam tarbiyah adalah upaya pencapaian tujuan dan muwashafat setiap tahap sesuai target waktu, dengan menggunakan berbagai macam sarana, materi dan program.

Tersampaikannya materi bukanlah tujuan di dalam tarbiyah. Terlaksananya kegiatan-kegiatan bukanlah tujuan dari proses tarbiyah. Materi hanyalah sarana mencapai tujuan. Kegiatan juga hanya sarana untuk mencapai tujuan. Dengan demikian mentarbiyah adalah sebuah proses dan manajemen menghantarkan peserta mencapai tujuan, dalam waktu tertentu.

Lalu ada berapa tahap?

Lalu ada berapa tahapan?
Dakwah dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan mad’u menerima dakwah. Prinsip dakwah yang relevan dan yang dikenal luas adalah ; at ta’rif qobla taklif (Pengenalan sebelum pembebanan). Nabi Muhammad saw menasehati kita untuk berinteraksi dan menyampaikan gagasan sesuai dengan kadar berpikir mad’u. Maka, dakwah, tarbiyah atau pembinaan dilakukan secara bertahap.

Lalu ada berapa tahapan?

Sebenarnya bukan berapa tahap yang penting untuk dibahas
Sebenarnya bukan berapa tahap yang penting untuk dibahas. Kita bisa sangat berbeda dalam hal jumlahnya. Yang harus dikedepankan adalah persoalan amal dakwah apa yang ada. Lalu Amalud da’wah itulah yang kemudian menentukan jumlah tahapan dalam tarbiyah.

5 amalud da’wah
Sepanjang yang saya ketahui, ada 5 amalud da’wah yaitu ;

1. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mengubah atau mentransformasikan kebodohan (al jahalah) ke kondisi kefahaman (al ma’rifah). Dalam adagium bahasa arab, amal ini biasa dirumuskan dengan ’Tahwilul jahaalati ’ilaal ma’ifah’.

2. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mengubah kefahaman atau mentransformasikan kefahaman dalam diri menjadi fikrah atau gagasan. Dalam adagium dakwah biasanya dirumuskan dengan ; ’Tahwilul ma’rifah ’ilaal fikrah’.

3. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransfomasikan gagasan menjadi gerakan. Yang dalam rumusannya biasanya dikenal dengan ungkapan ; ’Tahwilul fikrah ’ilaal harokah’.

4. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransformasikan gerakan menjadi sebuah natijah. Natijah kerap diartikan dengan arti hasil. Maka pada amalud da’wah ini, peserta tarbiyah sedang melakukan transformasi gerakan menjadi sesuatu yang memiliki arti atau hasil. Kita mengenal aktivitas ini dengan ungkapan ; ’Tahwilul harokah ’ilaa an natijah’.

5. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransformasikan natihah menjadi ghoyah. Ghoyah adalah tujuan. Apa perbedaan antara Natijah dan Ghoyah. Ghoyah adalah tujuan, mungkin semacam orientasi hidup. Sedangkan Natijah adalah hasil dalam jangkan yang lebih pendek dan lebih semacam proyek. Maka dakwah dalam aktivitas ini adalah upaya mengajak manusia menjadi seorang yang berorientasi dakwah dalam seluruh aspek hidupnya.

Kelimanya khas meski mungkin tidak berupa patahan yang tegas.

Keberadaan kelima aktivitas ini membuat kita mengenal tahapan dakwah. Sebenarnya penamaan tahapan itu tidak lain adalah penamaan terhadap aktivitas dakwah (amalud da’wah). Untuk aktivitas ’Tahwilul jahaalati ’ilaal ma’ifah’ , kita menyebut lembaganya sebagai lembaga ta’lim atau tabligh. Untuk aktivitas ’Tahwilul ma’rifah ’ilaal fikrah’ dan ’Tahwilul fikrah ’ilaal harokah’, kita mengenal sebuah marhalah da’wah yang kita sebut dengan Takwin. Untuk aktivitas mentransformasikan gerakan menjadi sebuah natijah,, kita mengenal marhalah tandzim. Dan marhalah tanfidz adalah sebuah episode dakwah yang mentransformasikan natijah menjadi ghoyah. Jadi, kita mengenal 5 marhalatud da’wah ; ta’lim, tabligh, takwin, tandzim, dan tanfidz.

Maka, bukan penamaannya yang terpenting, namun alamatud da’wah-nya yang lebih penting. Apa hebatnya kita merasa ada di marhalah dakwah yang kita nilai prestisius jika kita tak melakukan amalud da’wah yang sesuai? Apa ada alasan untuk sedih ketika faktanya kita sedang melakukan amal dakwah yang tampak tak terlalu ’tinggi’? Bukan penamaan yang terpenting dalam tarbiyah ini.

Juga bukan soal jumlah yang menentukan ’benar’ atau ’tidaknya’ sebuah gerakan. Bukan semakin banyak berarti semakin bagus, sebagaimana bukan berarti semakin sedikit berarti semakin bagusnya sebuah cita cita gerakan dakwah. Jumlah bisa berbeda beda, nama tahapan bisa diperdebatkan, dan definisi bisa sangat beragam. Berbangga bangga pada tahapan -yang sebenarnya bersifat teoritis- adalah hal yang mencerminkan hal sebaliknya dari kematangan individual.

Setiap tahapan menuntut kita untuk memainkan peran yang khas. Pada tahapan ta’lim wa tabligh, kita mungkin lebih banyak menerima, bersikap sebagai murid, menghafal, mengulang, melatih/riyadhoh, dan terus mengunyah ide dan gagasan serta mencatat dan mengamalkan ilmu yang disampaikan murabbi atau pak kyai atau sang muballigh. Kita dengar dan kita pikirkan dengan seksama. Sesekali menunjukkan dan berbagi ide serta gagasan adalah bagus untuk persiapan selanjutnya. Tapi kita harus sadar bahwa kita sedang menghilangkan sekian ketidakmengertian dan emnggantinya dengan pemahaman yang bagus. Maka –sebenarnya- kekaguman pihak eksternal terhadap perubahan kita bukanlah hal yang menjadi prioritas utama. Marhalah ini sebenarnya tak bagus jika terlalu ramai dan gegap gempita.

Murabbi, ustad atau pak kyai yang sedang mentransformasikan kebodohan menjadi pemahaman ini juga tak boleh terlalu terpukau dengan pertunjukkan yang sesekali itu. Tak boleh tergesa gesa dan menikmati ini secara berlebihan. Kadang ini lebih sering menipu daripada memberi manfaat.

Tahapan ini bukan sama sekali tak boleh menunjukkan aksi. Tapi aksi bukan hal utama dalam tahapan ini. Justru di sini kadang ironis. Pada tahapan ini, energi besar –jika tak bisa disebut terbesar- adalah pertunjukkan dan penampakkan. Inqilab dan revolusioner. Bagus. Tetapi itu bukan kewajiban marhalah. Kewajiban kita sebagai mutarabbi adalah menguatkan energi untuk bersikap mulia dan menguatkan pemahaman.

Ini bukan salah kita semata. Dunia menuntut kita untuk tampil dengan sedikitnya kesiapan kita. Dunia tak pernah menunggu. Selalu ada target di depan kita yang mengharuskan kita melangkah dan bahkan berlari. Allah maha mengerti apa yang terbaik untuk kita. Tapi di saat seperti itu, kita harus sadar bahwa harokah bukanlah target utama kita dalam marhalah ini. Seperti kalimat awal saya, tahapan tahapan ini memang khas tetapi tak selalu tegas dalam perbedaannya.

Penutup
Seperti anak anak, tarbiyah yang baik adalah tarbiyah yang menumbuhkembangkan seluruh aspek kehidupan kita. Ada saatnya kita perlu bergerak dengan gerakan yang diinginkan. Ada masanya kita harus menari sebagaimana tarian yang seharusnya. Dan ada masanya, kita harus mendukung gagasan gagasannya. Ini bukan hal yang istimewa.

Di manapun dan kapanpun, kita akan selalu dihadapkan dengan adaptasi, internalisasi, komitmen, dan menjadikan beberapa hal menjadi fikrah. Jika pada masanya kita mampu beradaptasi dengan hasrat kemudaan kita, jika pada masanya kita mampu menginternaslisasi nilai nilai itu dan membuat kita menjadi istimewa, jika pada masanya kita sanggup berkomitmen dan menghargainya, maka menjadi pribadi yang adaptif dan berkomitmen bukanlah barang baru. Cuma memang ujianNya bukan lagi jadwal kuliah, Indeks Prestasi, dan pernik pernik kampus. Sudah ada tangan kecil anak anak, sudah ada senyum manis istri, sudah ada lelaki yang membanggakan para akhwat, dan sudah ada sekian masalah baru yang kemarin tak pernah kita ketahui.

Jika ini masa untuk beradaptasi dan berkomitmen dengan dunia baru kita, maka semoga Allah memudahkan urusan ini. Karena ini tak mudah juga. Akan muncul keinginan untuk tak berkomitmen. Akan muncul godaan untuk tampak bebas. Akan tiba masanya sebutan independen terasa sangat menggoda. Akan ada masa masanya.

Semoga adaptasi dan komitmen itu memudahkan kita semua. Amiin...

Ya, apakah yang pernah mampu memasukkan sejumlah konsep kebenaran ke dalam lubuk sanubari ini dan siapa pula yang pernah menjaganya? Apa yang pernah mampu meneguhkan keyakinan kita akan kebenaran jalan da’wah? Apa yang pernah mampu memantapkan pilihan-pilihan jalan ketika kita harus memilih antara kebaikan dan keburukan? Siapa pula yang pernah mampu melepaskan kegamangan sikap tatkala kita berada di penghujung bahkan persimpangan jalan?

Siapa, ya, siapakah orang, yang pernah mampu menghapuskan kenangan-kenangan jahiliyah pada benak kita yang ingin bertaubat dan memperbaiki diri? Siapa yang pernah bisa menuntun hati kita untuk senantiasa setia meniti kebaikan demi kebaikan, dan tidak terpelanting kembali ke dunia kejahatan? Siapa yang pernah mampu meneguhkan hati kitadalam kebenaran, agar tidak terbelokkan meniti jalan setan? Siapa yang mampu meluruskan orientasi pandangan kita, agar tidak berpaling dari nilai-nilai kebenaran?

0 comments:

Post a Comment