Sunday, March 2, 2014

Dalam bahasa Arab, sholat bermakna doa, tetapi unsur sholat meliputi doa, pujian dan gerak. Dalam perspektif way of life seorang muslim, sholat adalah tugas hidup, bukan tujuan. Seperti halnya ibadah yang lain, sholat mempunyai aspek bentuk yang dapat dilihat dengan mata kepala, dan aspek esensi yang merupakan makna sebenarnya dari ibadah. Pada tataran teori, sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Akan tetapi pada tataran praktek, sebagaimana juga ibadah lain, bisa saja sholat tidak bermakna apa-apa. Oleh karena itu seperti yang disebut al Qur’an, bagi orang-orang yang menjalankan sholat masih disediakan neraka Wail (wailun lil musallin, Q/107:4). Pada orang tertentu, salat masih dirasakan sebagai kewajiban, pada orang lain, mungkin sudah dirasakan sebagai kemestian, dan selanjutnya ada orang yang merasakan sholat sebagai kebutuhan, bahkan sebagai idaman yang menggairahkan.

Bagi Nabi, sholat sejajar dengan hobi atau kegemaraan dalam kehidupan sehari-hari. Hanya orang yang sudah maqamnya, yang dapat merasakan kemesraan hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala di dalam “ruang” sholat seperti kemesraan sepasang kekasih.

Di dalam sholat orang yang maqamnya seperti itu terdapat nuansa komunikasi yang sangat intim sehingga seusai sholat wajahnya berseri-seri, hatinya tenteram dan sepanjang waktu rindu untuk kembali sholat. Bacaan dalam sholat berisi pujian dan doa yang sudah ditentukan, tetapi di dalam sholat boleh mengajukan permintaan lain diluar yang dibaca. Doa dalam sholat boleh diajukan dengan bahasa sendiri yang kita mengerti, karena orang yang berdoa memang harus mengerti apa yang diminta namun itu hanya boleh diungkapkan dalam hati saja.

Dalam struktur syari’at Islam, sholat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum mukmin (inna as salat kanat ‘ala al mu’minin kitaban mauquta,Q/4:103). Sebagai kewajiban yang bersifat sentral, sholat tidak cukup dikerjakan sekali-sekali, tetapi bersistem sepanjang hidup manusia. Oleh karena itu perintah sholat bukan untuk mengerjakan, tetapi mendirikan sholat (iqam as sholati), yakni mengerjakan dengan mengikuti sistemnya. Jika sholat dikerjakan dengan mengikuti sistemnya, maka ia akan berfungsi bagi yang mengerjakannya, seperti maksud syari’at sholat. Jika sholat hanya dikerjakan tanpa mengikuti sistemnya maka yang tertinggal hanyalah bentuk ritual sholat yang tidak relevan dengan fungsinya. sholat lima waktu merupakan tugas wajib, oleh karena itu ia tidak dimaksud untuk apa-apa selain mematuhi kewajiban.

Untuk mencari nilai plus hubungan manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, misalnya ingin dekat dengan Allah, maka itu bukan dengan sholat wajib, tetapi dengan sholat sunnat (nawafil).

Diantara fungsi sholat adalah (1) untuk berkomunikasi dengan Allah, (2) media zikir kepada Allah dan (3) untuk membangun kepribadian.

Komunikasi antara seorang manusia dengan Allah, bisa berupa permintaan (doa), pengaduan, konsultasi, bisa juga sebagai pelepas kerinduan. Sholat Istikharah misalnya adalah bentuk permintaan seorang manusia kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar diberi kemampuan memilih (dipilihkan yang terbaik) dari pilihan-pilihan yang sulit.

Jawaban dari istikharah dapat diketahui melalui tiga jalan. (1) melalui isyarat naumiyyah, yakni isyarat mimpi yang melambangkan apa yang sebaiknya dipilih, (2) jawaban itu disampaikan melalui nasehat dan saran banyak orang, yang terasa sehat, masuk akal dan menyejukkan, dan (3) melalui ketajaman nurani dimana hati menjadi sangat yakin atas pilihannya meski boleh jadi ditentang oleh seluruh penduduk bumi.

Adapun jika seorang mukmin mempunyai permintaan khusus kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka kepadanya dianjurkan untuk mengerjakan sholat hajat. Al Qur’an memang mengisyaratkan bahwa permohonan pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala bisa dilakukan dengan sabar dan sholat, ista’i nu bi as sobri wa as salat. (Q/2:45, 153)

Jika orang mengerjakan sholat istikharah disebabkan karena kurang percaya diri dalam mengambil keputusan, maka sholat hajat dilakukan sehubungan dengan telah adanya keputusan yang diambil dan langkah yang sudah dimulai. Dalam keyakinan atas pilihan itulah orang bermohon agar apa yang diyakini telah diridai Allah itu terlaksana dengan baik.

Perhatikan kandungan doa sholat hajat seperti yang diajarkan oleh Rasul di bawah ini:

Artinya: Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mulia. Maha Suci Allah, Pemilik ‘Arasy yang Agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku mohon kepada Mu hal-hal yang mendatangkan (a) rahmat Mu, (b) ampunan Mu, (c) perlindungan Mu dari dosa, (d) peluang meraih segala kebajikan dan (e) terbebas dari kesalahan. Ya Allah aku mohon kepada Mu, jangan Engkau biarkan dosaku tanpa Engkau ampuni, dan jangan Engkau biarkan kesulitanku, tanpa Engkau beri jalan ke luar, dan jangan Engkau biarkan hajatku yang telah Engkau ridai, tanpa Engkau kabulkan, wahai Tuhan yang Maha Pengasih.

Sholat Sebagai Doa

Persoalan salat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam menunaikan kewajiban salat, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan “sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa: 103). Konsekuensi logis dari ayat ini adalah salat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadis.
Sebelum mengkaji lebih jauh persoalan awal waktu salat, terlebih dahulu perlu dipertanyakan: apakah awal waktu salat itu benar-benar ada? Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan istilah awal waktu, yang ada adalah istilah kitaban mauquta. Meskipun demikian, istilah awal waktu salat sudah demikian populer dikalangan masyarakat. Lalu dimana dapat dijumpai istilah awal waktu salat. Jika dibaca kitab-kitab klasik dengan teliti dan cermat terutama yang mengkaji persoalan-persoalan fikih maka akan ditemukan. Dalam kitab-kitab tersebut ada bab khusus yang berjudul mawaqit as-salat, disinilah akan ditemukan istilah dimaksud. Hampir seluruh kitab fikih pada saat membicarakan salat ada bab khusus yang membicarakan mawaqit as-salat.
Dari sini jelas bahwa istilah awal waktu salat merupakan hasil ijtihad para ulama ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan waktu salat.
Waktu-waktu Salat: Sebuah Kajian Ulang.
Sepanjang penelusuran penulis ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan landasan dalam menetapkan awal waktu salat bersifat interpretatif. Sebagai implikasinya muncul perbedaan dalam menetapkan awal waktu salat. Kelompok pertama berpandangan bahwa awal waktu salat ada tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal waktu salat ada lima (lihat Muhammad Jawad Muqniyyah. At-Tafsir al-Kasif, 15:74).
Di Indonesia yang lebih berkembang adalah pendapat kedua. Hal ini didasarkan pada pemahaman terhadap Q. S. An-Nisa’ ayat 103, Al-Isra’ ayat 78, dan Q. S. Taha ayat 130 yang didukung pula dengan hadis dari Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Tirmizi. Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis tersebut dirinci ketentuan waktu-waktu salat sebagai berikut: (1) Zuhur, Waktu Zuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi (culmination) dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu Asar, (2) Asar, waktu Asar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tibanya waktu Magrib, (3) Magrib, waktu Magrib dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.
Rumusan-rumusan tersebut masih membuka peluang untuk didiskusikan. Akhir-akhir ini bermunculan software tentang awal waktu salat yang merumuskan awal waktu salat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah software Islamic Finder. Selengkapnya perhatikan tabel berikut.
Posisi Matahari dalam Penentuan Waktu Salat
Dari ketentuan yang termuat dalam Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami bahwa ketentuan salat tersebut berkaitan dengan posisi matahari pada bola langit. Karena itu, dalam penentuan awal waktu salat, data astronomis (zij) terpenting adalah posisi matahari, terutama tinggi, h, atau jarak zenit (bu’du as-sumti), Zm = 90 – h. Fenomena awal fajar (morning twislight), matahari terbit (sunrise), matahari melintasi meridian (culmination), matahari terbenam(sunset), dan akhir senja (evening twilight) berkaitan dengan jarak zenit matahari (lihat Moedji Raharto, Posisi Matahari Untuk Menentukan Awal Waktu Salat, p. 8).
Awal waktu Zuhur dirumuskan sejak seluruh bundaran matahari meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2 menit setelah lewat tengah hari (Ibid, lihat juga Mohammad Ilyas, A Modern Guide to Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984). Saat berkulminasi atas pusat bundaran matahari berada di meridian. Dalam realitasnya, untuk kepentingan praktis, waktu tengah cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam.
Awal waktu Asar, berdasarkan literatur-literatur fikih tidak ada kesepakatan. Hal ini dikarenakan fenomena yang dijadikan dasar tidak jelas. Dalam hadis yang diatas, Nabi SAW. Diajak salat Asar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya. Meskipun dapat disimpulkan bahwa awal Asar adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi masih menimbulkan beberapa penafsiran karena fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi sebab bergantung pada musim atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu Zuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang dari pada tongkatnya (baca Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islamiy, I:509).
Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu Zuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin(Depag RI. Penentuan Jadual Waktu Salat Sepanjang Masa, 29). Pendapat lain menyatakan bahwa salat Asar merupakan waktu pertengahan antara Zuhur dan Maghrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit matahari. Pendapat ini diperkuat dengan ungkapan as}-S}ala>ti al-Wust}a (salat yang di tengah-tengah) dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 238 yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir sebagai salat Asar (Sa’di Husain Ali Jabr. Fiqh al-Imam Abiy Thaur, p. 183). Jika pendapat ini yang digunakan, waktu Asar akan lebih cepat dari jadwal salat yang berkembang selama ini.
Waktu Magrib dalam ilmu falak berarti saat terbenam matahari (ghuru>b), seluruh piringan matahari tidak kelihatan oleh pengamat. Piringan matahari berdiameter 32 menit busur, setengahnya berarti 16 menit busur, selain itu di dekat horison terdapat refraksi (inkisa>r al-jawwi) yang menyebabkan kedudukan matahari lebih tinggi dari kenyataan sebenarnya yang diasumsikan 34 menit busur. Koreksi semidiameter (nishfu al-Quth}r) piringan matahari dan refraksi terhadap jarak zenit matahari saat matahari terbit atau terbenam sebesar 50 menit busur. Oleh karena itu terbit dan terbenam matahari secara falak ilmiy didefinisikan bila jarak zenit matahari mencapai Zm= 90 50`. Definisi itu untuk tempat pada ketinggian dipermukaan air laut atau jarak zenit matahari Zm= 91 derajat bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat tinggi posisi pengamat 30 meter dari permukaan laut. Untuk penentuan waktu Magrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan salat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.
Waktu Isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah (asy-Syafaq al-Ah}mar) di bagian langit sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (Q. S. Al-Isra’ ayat 78). Peristiwa ini dalam falak ilmiy dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight). Pada saat itu matahari berkedudukan 18 derajat di bawah ufuk (horizon) sebelah barat atau bila jarak zenit matahari=108 derajat (baca Saadoe’ddin Jambek. Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, p.11).
Waktu Subuh adalah sejak terbit fajar sidik sampai waktu terbit matahari. Fajar sidik dalam falak ilmiy dipahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada sekitar 18 di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108 derajat). Pendapat lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari=110 derajat.

Di Indonesia pada umumnya (atau hampir seluruhnya), salat Subuh dimulai pada saat kedudukan matahari 20 derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon). Hal ini bisa dilihat misalnya pendapat ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu Saadoe’ddin Djambek disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai mujaddid al-hisab (pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa waktu Subuh dimulai dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari. Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20 derajat dibawah ufuk sebelah timur.
Hal senada juga diberikan oleh Abdul Rochim yang menyebutkan bahwa awal waktu Subuh ditandai nampaknya fajar sidiq dan dianggap masuk waktu Subuh ketika matahari 20 derajat di bawah ufuk. Jadi jarak zenit matahari berjumlah 110 derajat (90+20). Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu = -01 derajat.
Penulis melihat pemikiran Saadoe’ddin Djambek dan Abdur Rachim di atas nampaknya masih banyak dipengaruhi oleh Syaikh Taher Djalaluddin Azhari. Dalam bukunya yang berjudul Nakhbatu at-Taqrirati fi Hisabi al-Auqati disebutkan bahwa waktu subuh bila matahari 20 derajat di bawah ufuk sebelah timur. Oleh karenanya sudah saatnya kajian awal waktu salat didialogkan dengan hasil-hasil riset kontemporer agar sesuai tuntunan syar’i dan sains modern sehingga hasil yang diperoleh lebih valid dan mendekati kebenaran.

Awal Waktu Shalat Perspektif Syar'i dan Sains

بسـم الله الـر حمـن الـر حيــم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah.
Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.

يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون۝
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)

يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا۝
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)

يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا۝ يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما۝
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab : 70-71)

فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فيالنار.
“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.” (1)

Sesungguhnya cinta dan benci karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala merupakan pintu yang sangat agung di antara pintu-pintu kebaikan di akhirat. Dan merupakan sebab seseorang mendapatkan kelezatan iman di dunia. Sebagian orang mengira bahwa cinta dan benci merupakaan suasana hati yang tidak mampu manusia mengendalikannya. Bagaimana ia bisa memaksakan diri untuk mencintai ini dan membenci itu!?

Sebagaimana yang dimaklumi dalam Islam bahwa hati mengikuti aqidah dan iman yang ada di dalamnya. Barangsiapa beriman bahwa Allah adalah Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Rasul, maka ia pasti mencintai orang-orang yang mencintai Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Oleh karena itu cinta karena Allah dan benci juga karena Allah merupakan kewajiban atas setiap Muslim.

Allah telah memperingatkan kita dari sikap berlebihan pada kedua perkara ini. Agar tidak terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. Sebagaimana yang disebutkan di akhir surat al-Anfaal :

والذين كفروا يعضهم أوليـاء بعضۚ إلا تفعلوه تكن فتـنه فى الأرض وفساد كبير۝
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal : 73)

Allah dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa Sallam telah menuntun kita bagaimana cara mencintai dan membenci karena Allah. Apabila kita melaksanakannya niscaya akan membawa kita kepada kelapangan dan keteduhan, yakni keimanan dan keamanan.

Oleh karena itu saya kumpulkan hadits-hadits dan perkatan-perkatan yang membicarakan tentang kewajiban kita untuk saling mencintai sesama muslim kemudian saya tuliskan dalam catatan ini semampu saya. Ketika kita telah memahami arti pentingnya saling mencintai karena Allah, niscaya kita akan mencintai saudari kita hanya karena Allah dan bukan dengan maksud tertentu. Saya memohon kepada Allah, karena kecintaanku kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa Sallam serta siapa saja yang mencintai keduanya, agar menyatukan hati kaum Muslimin di atas agama yang haq dan menerima amal ini dariku dengan penerimaan yang baik, sehingga menjadi orang-orang yang saling mencintai karena Allah, dan agar menjadi penuntun bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah dengan cara yang lebih lurus dan dengan cara yang lebih indah. Insya Allah.

Saudaraku, jangan kau tinggalkan aku dalam ketidaktahuanku.
Saudaraku, jangan kau tinggalkan aku dalam ketidakpahamanku.
Saudaraku, jangan tinggalkan aku dalam kebodohanku.
Saudaraku, jangan kau biarkan aku tersesat dalam jalan yang gelap.
Saudaraku, jangan tinggalkan aku sendiri bersama kesepian.
Saudaraku, aku ingin nasehat darimu.
Saudaraku, aku ingin kau mengajari akan ilmu dien.
Saudaraku, aku ingin kasih sayangmu sebagai muslimin.
Saudaraku, aku ingin kau marahi di saat aku berlaku salah.
Saudaraku, jangan kau diam atas kesalahan yang kulakukan.

Perkataan seorang penyair dalam Al-Hubbu wal Bughdhu Fillaah berkata :
عليك بإغبــاب الزيـارة إنهـا إذا كثرت كانت إلى الهجر مسلكا
فـإني رأيت الغيث يسـأم دائمــا ويسأل ب لأيدي إذا كان ممسكا
“Hindari olehmu sering melakukan kunjungan karena sungguh jika terlalu banyak, akan menimbulkan kebencian.
Sungguh aku lihat hujan bila turun tiap hari akan membuat bosan dan apabila tertahan justru tangan-tangan akan menengadah memohon kedatangannya”.

Seorang penyair lain mengatakan :
أقلـل زيـارتك الصديـق تكون كالثوب استجده
وأمل شـيء لامرىء أن يـزال يـراك عنـده
“Batasilah kunjungan kepada sahabatmu, maka engkau seperti pakaian yang senantiasa baru.
Sungguh seseuatu yang paling membosankan bagi seseorang bila ia selalu melihatmu di sisinya”

Hadbah bin Khasyram berkata :
وابغض إذا أبغضت بغضا مقاربا، فإنك لاتدري متى أنت راجع
وكن معدنا للخير واصفح عن الأذى، فـإنك راء ما عملت وسامع
وأحبب إذا أحببت حبا مقاربا، فإنك لاتدري متى أنت نازع
“Jika engkau membenci, bencilah dengan kebencian sewajarnya, karena sesungguhnya engkau tidak tahu, suatu ketika engkau akan kembali. Jadilah engkau barang tambang bagi kebaikan dan berilah maaf atas kesalahan, karena sesungguhnya engkau melihat dan mendengar apa yang engkau lakukan. Jika engkau mencintai, cintailah dengan cinta sewajarnya sebab engkau tidak tahu, suatu ketika engkau memutus cinta itu.

An Namar bin Taulab berkata :
أحبب حبيبـك حبا رويـدا، فليس يعو لـك أن تصرما
وابغض بغيضك بغضا رويدا، إذا أنت حـاولت أن تحكما
“Cintailah kekasihmu dengan cinta sewajarnya niscaya tidak akan membebanimu, bila kamu memutus cinta itu dan bencilah musuhmu dengan benci sewajarnya, karena bila engkau berusaha mencintainya, maka engkau akan bersikap bijak padanya.”

Umar bin Khattab berkata : “Jika engkau mencintai janganlah berlebihan seperti seorang anak kecil mencintai sesuatu. Dan, jika engkau membenci, janganlah berlebihan hingga engkau suka mencelakai sahabatmu dan membinasakannya.”



Hadits Pertama :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
الدين النصيحة، قلنا: لمن؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم.
“Agama itu nasehat! Kami bertanya : “Bagi siapa? Rasul Menjawab :”Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan bagi segenap kaum muslimin.”(1)
Hadits Kedua :

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما وأبغضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما.
“Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan, bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (2)

Hadits Ketiga :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
زرغبا تزدد حبا.
“Kunjungilah (saudaramu) secara jarang-jarang niscaya rasa kasih sayang akan bertambah.” (3)

Hadits Keempat :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إذا أحب أحدكم أخاه فى الله، فليعلمه، فإنه أبقى في الألفة وأثبت في المودة.
“Apabila salah seorang dari kamu mencintai saudaranya karena Allah hendaklah ia memberitahu kepadanya, karena hal itu dapat melanggengkan kasih sayang dan memperkuat rasa cinta.” (4)

Hadits Kelima :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
من سره أن يجد حلاوة الإيمان فليحب المرء لا يحبه إلا لله عز وجل.
“Barangsiapa yang ingin meraih kelezatan iman hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah.” (5).

Hadits Keenam :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان.
“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (tidak memberi) karena Allah. Sungguh ia telah menyempurnakan keimanan.” (6)

Hadits Ketujuh :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
لا تدخلون الجنة حتى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتى تحابوا، أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم؟ أفشوا السلام بينكم.
“Kalian tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah kalian aku beritahu seseuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih _sayang? Sebarkanlah salam diantara kalian”. (7)

Hadits Kedelapan :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إذا أحب أحدكم صاحبه فليأته في منزله، فليخبره بأنه يحبه لله عز وجل.
“Apabila salah seorang di antara kamu mencintai sahabatnya, hendaklah ia mendatangi rumahnya dan memberitahukan kepadanya bahwa ia mencintainya karena Allah”. (8).

Hadits Kesembilan :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
ماتحاب رجلان في الله تبارك وتعالى إلا كان أفضلهما أشدهما حبا لصاحبه.
“Apabila dua orang laki-laki saling mencintai karena Allah, maka yang paling utama adalah yang paling mencintai rekannya”. (9)

Hadits Kesepuluh :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
أن رجلا زار أخا له في قرية أخرى فأر صد الله له على مدرجته ملكا فلما أتى عليه. قال: أين تريد؟ قال: أريد أجالي في هذه القرية. قال: هل لك عليه من نعمة تربها؟ قال: لا، غير أني أحببته في الله عز وجل. قال: فإني رسول الله إليك بأن الله قد أحبك كما أحببته فيه.
“Seorang laki-laki mengunjungi saudaranya (seiman) di kota lain. Lalu Allah mengirim satu malaikat untuk mengikuti perjalanannya. Tatkala bertemu dengannya, Malaikat itu bertanya : “Ke manakah engkau hendak pergi? “Ia menjawab : “Aku hendak mengunjungi saudaraku di kota ini’.Malaikat itu bertanya lagi : “Adakah suatu keuntungan yang engaku harapkan darinya?’ Ia menjawab : ‘Tidak ada, hanya saja aku mencintainya karena Allah. Maka malaikat itu berkata : “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena Allah”. (10).

Hadits Kesebelas :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
تهادوا تحابوا.
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi”. (11)

Hadits Keduabelas :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إذا أحب الله عبدا نادى جبريل: إن الله يحب فلانا، فأحبه، فيحبه جبريل، فينادي جبريل في أهل السماء: إن الله يحب فلانا، فأحبوه، فيحبه أهل السماء، ثم يوضع له القبول في أهل الأرض.
“Apabila Allah mencintai seorang hamba niscaya Jibril akan berseru : “Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia. Maka Jibril pun mencintainya, lalu Jibril menyerukan kepada penghuni langit : “Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia. Maka penghuni langit pun mencintainya, kemudian diberikan kepadanya penerimaan yang baik di kalangan penduduk bumi”. (12)

Hadits Ketigabelas :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah riwayat dari Rabbnya :
قال الله تعالى: حقت محبتي للمتحابين في.
“Allah berfirman : “Cinta-Ku telah ditetapkan bagi siapa saja yang saling mencintai karena Aku”. (13)

Hadits Keempatbelas :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إن الله يقول يوم القيامة: أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا طل إلا طلي.
“Sesungguhnya Allah akan bertanya nanti pada hari Kiamat : “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku yang tiada yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (14)

Hadits Kelimabelas :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah riwayat dari Rabbnya :
قال الله عز وجل: المتحابون في جلالي لهم منابر من نور يغطهم النبيون والشهداء.
“Allah berfirman : “Orang-orang yang saling mencintai karena keagunganKu, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat cemburu para Nabi dan Syuhada”. (15)

Hadits Keenambelas :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إن من عباد الله عبادا ليسوا بأنبياء، يغبطهم الأنبياء والشهداء، قيل: من هم لعلنا نحبهم؟ قال: هم قوم تحابوا بنور الله من غير أرحام ولا أنساب، وجو ههم نور على منا بر من نور، لا يخافون إذا خاف الناس، ولا يحزنون إذا حزن الناس، ثم قرأ:
ألا إن أوليـاء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون۝.
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak taku di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membacakan ayat : “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Yunus : 62). (16)

Hadits Ketujuhbelas :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
ما تواد اثنان في الله عز وجل أو في الإسلام، فيفؤق بينهما إلا بذنب يحدثه أحدهما.
“Tidaklah dua orang saling mengasihi karena Allah atau karena Islam, lalu keduanya berpisah, melainkan pasti disebabkan oleh dosa yang dilakukan salah seorang diantara keduanya.” (17).
Oleh karena itu, apabila salah seorang hamba mulai merasakan kelainan sikap dari saudaranya, maka hendaklah ia mengoreksi dirinya terlebih dahulu, barangkali ia telah melakukan dosa. Jika betul, maka hendaklah ia segera bertaubat agar cinta saudaranya kembali bersemi padanya.”

Hadits Kedelapanbelas :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا طل إلا ظله: الإمام العادل، مشاب نشأ في عبادة ربه، ورجل قلبه معلق با لمساجد، ورجلان تحابا في الله، اجتمعا عليه وتفرقا عليه، ورجل طلبته امرأة ذات منصب وجمال فقال: إني أخاف الله، ورجل تصدق أخف حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه، ورجلذكر الله خاليا ففاضت عيناه.
“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selainNya : (1) Seorang imam yang adil. (2). Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Rabbnya. (3). Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid. (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah ; berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. (5) Laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang tepandang dan dan cantik untuk berzina lantas ia berkata : “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.” (6) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (7). Seorang yang berdzikir kepada Allah dengan menepi seorang diri hingga bercucuran air matanya.” (18)

Wallahu a’lam wal muwafiq.

Footnote :
(1). Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.
(2). HR. Muslim (II/37 an-Nawawi) dan lainnya dari Hadits Tamim ad-dari radhiyallahu ‘anhu.
(3). Shahiihul-Jaami ash-Shaghiir wa Ziyaadatuhu (176). Syaikh al-Albani telah menjelaskan lebar tentang keshahihannya dalam Ghaayatul Maraam (472).
(4). Shahiihul Jaami’ ash wa Ziyaadatuhu no. 3562)
(5). Hasan lighairihi, diriwatakan oleh Waki’ dalam Kitab az-Zuhd 9337) dengan sanad yang shahih dari Ali bin Al-Husain secara marfu.
(6). (HR. Ahmad (II/298), al-Hakim (I/3 dan IV/168) al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XII/52-53), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VII/204), ath-Thayalisi (2495), al-bazaar (63-kasyaf), dan selain mereka dari jalur Yahya bin Abu Sulaim dari Amr bin Maimun dari Abu Hurairah.
(7). Shahih lighairihi, HR. Abu Dawud (2681) dari Jalur Yahya bin al-Harits dari al-Qasim dari Abu Umamah.
(8). HR.Muslim (II./35, Nawawi, dari Abu Hurairah).
(9). Shahih, diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd (712) dan Abdullah bin Wahab dalam Al-Jaami’ (hal. 36) dari jalur Ibnu Lahi’ah.
(10). Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (544), Ibnu Hibban (2509), al-Hakim (IV/171) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/52) dari jalur Mubarak bin Fudhalah.
(11). HR. Muslim (XVI/123-124) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
(12). Hasan, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (594), ad-Dulabi dalam al-Kuna (I/150 dan II/7) dan al-Baihaqi (VI/169).
(13). HR. Bukhari (VI/303, X/461, al-Fath), Muslim (XVI/183-184 an-Nawawi), dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
(14). HR. Ahmad (V/229, al-Hakim (IV/169) dan selain keduanya dari hadits ‘Ubaidah bin ash Shamit).
(15). Muslim (XVI/123, an-Nawawi), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
(16). Shahih, at-Tirmidzi (2390) dan Ahmad (V/236-237) dari jalur Ja’far bin Barqan).
(17) Hasan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (2508), Mawaarid) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
(18) Shahiih lighairihi, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (401). Dari jalur Sinan bin Sa’ad dari Anas.
(19). Diriwayatkan oleh al-Bukhari (II/143-Fat-hul Baari) dan lafazh ini adalah lafazhnya, Muslim (VII/121-123), an-Nawawi) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Saling Mencintai karena ALLAH

Sunday, May 5, 2013

Syahrut Tarbiyah
LDK SALIM UNJ
Mengadakan
Indonesian Education eXpo 2013




IEX 2013 by LDK SALIM UNJ

Tuesday, November 13, 2012

Novel My Salwa, My Palestina, adalah novel fiksi, tetapi berdasarkan riset sejarah. Penulisnya pun berkebangsaan Palestina, yang kini menetap di Amerika. Semula saya pikir, novel ini akan bercerita tentang Palestina berdasarkan sudut pandang seorang muslim, sebagaimana yang sering saya baca di cerpen-cerpen bertema Palestina, yang ditulis oleh penulis Indonesia. Ternyata, ini novel Palestina yang ditulis berdasarkan sudut pandang seorang nasrani atau Kristen.
Ya, tiga agama besar; Islam, Kristen, dan Yahudi, adalah tiga agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Palestina. Sebab, tanah Palestina memang tanah Sejarah bagi ketiga agama samawi itu. Bagi umat Islam, Palestina adalah tempat masjid Al Aqsha yang disebutkan di dalam Al Quran, berada. Bagi Umat Kristen, Palestina adalah tempat Yesus Kristus disalib. Dan bagi umat Yahudi, Palestina adalah tanah kelahiran Musa. Tak heran, masjid, gereja, dan sinagog, berdiri berdampingan di Palestina.
Novel ini bercerita tentang Yousif, dari kata Yakub, seorang pemuda Arab beragama Nasrani, yang baru berusia 17 tahun. Sedang giat bersekolah di sekolah menengah tingkat akhir. Di sini, saya pun baru terbuka mata, “oooh.. ternyata orang Arab pun ada yang beragama Nasrani….” Keluarga Yousif termasuk taat beragama, meski disebutkan sering berpesta dan minum minuman keras. Ayahnya seorang dokter, ibunya seorang ibu rumah tangga. Yousif disebutkan dari keluarga menengah ke atas. Tahun 1947, ketika Palestina akan jatuh ke tangan zionis, ayahnya baru saja merenovasi rumah mewah mereka sehingga tergambarkan betapa mewahnya.
Yousif bersahabat dengan Amin, seorang Arab Muslim, dan Ishaq, seorang Yahudi asli. Amin, dari keluarga yang sangat miskin dengan jumlah saudara yang banyak. Tinggal di perumahan kumuh. Ishaq dari keluarga menengah. Mereka selalu bersama-sama, baik di sekolah, maupun saat bermain seusai sekolah. Yousif jatuh cinta kepada Salwa, seorang gadis Arab Nasrani. Namun, sebagaimana tradisi masyarakat Palestina, para gadis akan segera dinikahkan begitu lulus SMA. Begitu juga dengan Salwa. Salwa telah dijodohkan dengan seorang lelaki yang 15 tahun lebih tua usianya. Cinta Yousif bertepuk sebelah tangan, karena ayah Salwa tak menyetujui putrinya menikah dengan pemuda yang masih ingusan.   
Cerita dibuka dengan perjalanan Yousif, Amin, dan Ishaq, menguntiti beberapa orang Yahudi yang agak mencurigakan. Yousif yakin bahwa mereka adalah mata-mata zionis. Zionis adalah sebuah organisasi politik Yahudi yang bertujuan merampas tanah Palestina. Saat itu, Palestina sedang berada di bawah mandataris Inggris. Di perjalanan, Amin terjatuh dari atas bukit dan tangannya patah. Akibat salah pengobatan, tangannya harus diamputasi. Ternyata dugaan Yousif benar. Orang-orang itu adalah mata-mata zionis yang sedang mengukur-ukur potensi dan peluang untuk menyerang Palestina. Namun, kekhawatiran anak muda ingusan itu dianggap angin lalu saja oleh orang tua dan paman-pamannya. Hanya satu pamannya, Bahasim, yang memang seorang pejuang, yang percaya ucapan Yousif. 
Bahasim yakin bahwa zionis sedang mengincar Palestina. Ia menyiapkan perlawanan dari bawah tanah.
Perlu diketahui bahwa rakyat Palestina tidak punya senjata dan tidak pernah berlatih militer. Inggris melarang mereka memiliki senjata. Rakyat Palestina kala itu pun menjadi rakyat yang “melempem.” Sebagaimana keluarga Yousif sendiri yang antikekerasan. Ketika Bahasim meminta dukungan dana untuk membeli senjata, ayah Yousif tak mau memberi meskipun punya uang banyak. Ia percaya bahwa Palestina akan baik-baik saja, dan setiap perselisihan bisa diselesaikan dengan jalan damai. Rakyat Palestina larut dalam pesta-pesta. Diceritakan di situ bahwa pemudanya banyak menghabiskan waktu di kafe-kafe, minum alkohol dan main bliyar. Mereka tak sadar bahwa mereka sedang di ambang kehancuran.
Hingga sebuah kabar mengejutkan pun datang. Inggris meletakkan mandatnya terhadap Palestina. Inggris akan hengkang dari Palestina, dan wilayah Palestina akan dibagi dua dengan Israel. Negara baru itupun diumumkan, Israel. Rakyat Palestina gempar. Kekacauan mulai terjadi, terutama di kawasan Jerusalem. Mulai terjadi pembunuhan terhadap rakyat Palestina dari ras Arab, baik muslim maupun Kristen.   Dilakukan oleh gerakan zionis bawah tanah yang radikal. Sementara di tempat yang minoritas Yahudi, rakyat Yahudi Palestina pun ketakutan karena orang-orang Arab mulai meneror mereka. Termasuk keluarga Ishaq yang rumahnya ditimpuki batu. Keluarga Ishaq sempat mengungsi ke Jerusalem.
Dalam waktu cepat, kegentingan di Palestina semakin terasa. Terlebih ketika ada satu desa Palestina yang dibumihanguskan oleh Israel. Seluruh penduduknya dibantai dengan keji. Ibu hamil dibelah perutnya, wanita-wanita diperkosa, anak kecil ditembak di tempat. Ajaibnya, ada satu bayi yang selamat, saat ditemukan, sedang menyusu di putting ibunya yang telah tewas. Pembantaian itu sangat mengenaskan, tapi tak ada yang dilakukan DUNIA untuk Palestina. Mereka bungkam, seakan kejadian itu tak ada. Negara-negara Arab pun lamban bertindak. Padahal, ketika Israel mengusir rakyat Palestina, mereka berkata, “Pulang sana ke Abdullah….” Abdullah adalah Raja Saudi.
Rakyat Palestina di desa lain yang belum tersentuh Israel, sudah mulai cemas, tapi tak tahu mau berbuat apa. Yang kaya dan cepat bertindak, segera melarikan diri ke negara-negara Arab, tetangga Palestina, seperti Mesir dan Yordania. Yang miskin, tak tahu mau ke mana. Yang kaya tapi tak mau lari, merasa yakin bahwa negara-negara Arab akan membantu mereka, sehingga mereka tetap tinggal di Palestina. Lagipula, itu tanah mereka, rumah mereka. Kalau lari, Israel justru diuntungkan. Namun, tidak lari pun tak ada yang bisa diperbuat. Mereka tak punya senjata dan tak bisa berperang. Hingga satu demi satu desa dikuasai oleh Israel.
Ishaq, yang dulu berjanji tak akan memutus tali persahabatannya meskipun Israel datang, ternyata justru ikut memerangi Yousif dan Amin. Ishaq tewas di tangan kelompok Bahasyim. Sebenarnya Ishaq tak mau memerangi teman-temannya, tetapi ia dipaksa oleh Israel. Semua anak muda Yahudi harus ikut dalam militer Israel. Zionis Israel dan Yahudi sebenarnya tidaklah sama. Orang-orang zionis adalah keturunan Yahudi, tetapi tidak semua Yahudi mau bergabung di dalam zionis. Yahudi yang taat justru tidak mau Israel menguasai Palestina karena itu bisa menghambat turunnya Mesiah.
Yousif dan keluarganya tetap bertahan di rumahnya, yakin bahwa desa mereka, Ardallah, tidak akan mampu ditembus Israel, karena ada kelompok Bahasim yang menjaga. Ternyata dugaan mereka salah. Pada akhirnya, mereka harus ikut hengkang dari Palestina, diusir paksa oleh Israel. Yousif bahkan harus menyaksikan seorang saudaranya diperkosa di depan matanya oleh tentara Israel. Benar-benar meruntuhkan harga dirinya sebagai orang Arab. Rakyat Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka dengan berjalan kaki dan tidak membawa harta benda apa pun. Di tengah musim panas yang menyengat, kehausan, satu per satu yang lemah harus menjemput maut, termasuk ayah Salwa. Setelah sampai di negara Arab yang dituju pun, tak tahu mau apa karena tak punya bekal apa pun. Ini benar-benar novel yang tragis. Ironisnya, ini tak sekadar fiksi. Kenyataannya memang ada di tanah Palestina.
Sudah sangat jelas bahwa Israel sedang menjajah Palestina, tetapi DUNIA seakan menutup mata. Negara-negara Arab pun lepas tangan, tak benar-benar membantu, meskipun bisa. Rakyat Palestina hanya menemukan harapan kosong. Abdullah dan kroni-kroninya tetap berpesta, membuang-buang uang dengan membeli klub sepakbola :D :D, sedangkan rakyat Palestina meregang nyawa. Semoga dengan berubahnya satu per satu pemimpin Arab, kemerdekaan Palestina dapat segera diwujudkan. Bayangkan bila berada di posisi keluarga Yousif, yang sudah mempunyai rumah, tanah, dan harta yang banyak, lalu dipaksa untuk meninggalkan semuanya.
Berhubung novel ini diceritakan dengan sudut pandang seorang Nasrani, maka nuansa islaminya tidak banyak. Justru yang terasa adalah nuansa Nasraninya, seperti prosesi pemakaman dan pernikahan. Itu juga berarti seharusnya orang nasrani pun merasa berhak dengan tanah Palestina, karena saudara mereka di sana juga banyak yang terzalimi. Jadi, konflik Palestina memang bukan semata konflik Islam dengan Yahudi, melainkan konflik ras Arab dengan Zionis.
Yang belum saya ceritakan adalah kisah cinta antara Yousif dan Salwa, yang terhambat oleh restu orang tua dan suasana perang. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Hanya bisa dibaca di dalam buku ini yang sudah diobral murah. Hayo, bacaa…. Ini novel Sejarah yang dituturkan dengan ringan, tidak berbelit-belit, dan tidak akan membuat perut melilit. Kecuali emosi yang akan meluap ketika membayangkan penyiksaan-penyiksaan terhadap rakyat Palestina, terlepas apakah dia seorang muslim ataukah nasrani. 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6ey8doFoErqpw19LBuynIDd9bnm47SHZaMjtItZLKIWtE0ubJeu5upPN0tiY3-NjHWzJmZAItU7BHWLuOLNapUlBNafkJZUpR6nNnrojvTR8mykSVLTOAQLSGrTlSTgmdjeE5LBqpTQSS/s1600/salwa+palestina.jpg

Resensi Buku: My Salwa, My Palestine

Sunday, November 11, 2012

Janganlah kamu merasa kecil diri, lalu kamu samakan dirimu dengan orang lain. Atau kamu tempuh dalam dakwah ini jalan yang bukan jalan kaum mukminin. Atau kamu bandingkan dakwahmu yang cahayanya diambil dari cahaya Allah dan manhajnya diserap dari sunnah Rasul-Nya dengan dakwah-dakwah lainnya yang terbentuk oleh berbagai kepentingan lalu bubar begitu saja dengan berlalunya waktu dan terjadinya berbagai peristiwa. Kuncinya adalah Tsabat dalam jalan dakwah ini’. Kalau begitu bagaimana bangunan tsabat yang kita miliki?
(Imam Syahid Hasan Al- Bana)

Ikhwah, mari kita tengok kembali perjalanan dakwah kita saat ini, ternyata dakwah kita saat ini sedang mengalami fase – fase yang tidak mengenakkan. Diserang dari udara, darat, air, dan dari segala penjuru mata angin. Dengan berbagai isu yang menerpa, berbagai cobaan, godaan yang senantiasa menghampiri aktivitas dakwah kita hari ini, baik ditingkat Negara, maupun sampai yang terkecil ditingkat kampus, semuanya tak lepas dari tantangan, rintangan, godaan, rayuan, yang seperti tak kenal henti untuk terus menerpa, menghantui, mengganggu setiap aktivitas dakwah yang kita lakukan. Tetapi ikhwah, benar apa yang pernah disampaikan oleh Ustadz Lutfi Hassan dalam sebuah forum, bahwa jamaah dakwah kita ini adalah ibarat gadis cantik, banyak yang menggoda, merayu, mengganggunya, dan si gadis cantik akan semakin mempercantik dirinya. Wajar kalau sekarang ini banyak tantangan, godaan yang menghadang, karena ini adalah merupakan karakteristik dakwah ini, banyak rintangannya, sedikit pengikutnya.

Akhi, lalu kemudian mari kita buka kembali lembaran – lembaran materi tarbiyah yang dulu pernah disampaikan oleh murobbi kita, tentang keteguhan hati, rukun ke tujuh, tsabat. Barangkali rukun ini perlu kita renungi kembali sebagai sebuah keniscayaan yang harus kita miliki. Karena tsabat akan menguatkan kita dalam kondisi apapun. Tsabat adalah teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta cobaan di jalan kebenaran. Tsabat bagai benteng bagi seorang kader. Ia sebagai daya tahan dan pantang menyerah. Ketahanan diri atas berbagai hal yang merintanginya. Hingga ia mendapatkan cita-citanya atau mati dalam keadaan mulia karena tetap konsisten di jalan-Nya.

Ikhwah, sedikit mereview makna tsabat dalam Majmu’atur Rasail, Imam Hasan Al Banna menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tsabat adalah orang yang senantiasa bekerja dan berjuang di jalan dakwah yang amat panjang sampai ia kembali kepada Allah SWT. dengan kemenangan, baik kemenangan di dunia ataupun mati syahid.

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah SWT. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya”. (Al- Ahzab: 23).

Sesungguhnya jalan hidup yang kita lalui ini adalah jalan yang tidak sederhana. Jauh, panjang dan penuh liku apalagi jalan dakwah yang kita tempuh saat ini. Ia jalan yang panjang dan ditaburi dengan halangan dan rintangan, rayuan dan godaan. Karena itu dakwah ini sangat memerlukan orang-orang yang memiliki muwashafat ‘aliyah, yakni orang-orang yang berjiwa ikhlas, itqan (profesional) dalam bekerja, berjuang dan beramal serta orang-orang yang tahan akan berbagai tekanan. Dengan modal itu mereka sampai pada harapan dan cita-citanya.

Ikhwah, seperti kita pahami bersama, bahwa dakwah ini juga senantiasa menghadapi musuh-musuhnya di setiap masa dan zaman sesuai dengan kondisinya masing-masing. Tentu mereka sangat tidak menginginkan dakwah ini tumbuh dan berkembang. Sehingga mereka berupaya untuk memangkas pertumbuhan dakwah atau mematikannya. Sebab dengan tumbuhnya dakwah akan bertabrakan dengan kepentingan hidup mereka. Oleh karena itu dakwah ini membutuhkan pengembannya yang berjiwa teguh menghadapi perjalanan yang panjang dan penuh lika-liku serta musuh-musuhnya. Merekalah orang-orang yang mempunyai ketahanan daya juang yang kokoh.

Untuk contoh ini, mari kita belajar dari mereka. Rasululullah dan sahabat, serta para muassis dakwah ini, ketika berjuang menegakkan kalimatullah. Kita bisa melihat ketsabatan Rasulullah SAW. Ketika beliau mendapatkan tawaran menggiurkan untuk meninggalkan dakwah Islam tentunya dengan imbalan. Imbalan kekuasaan, kekayaan atau wanita. Tetapi dengan tegar beliau menampik dan berkata dengan ungkapan penuh keyakinannya kepada Allah SWT. Demikian pula para sahabatnya ketika menjumpai ujian dan cobaan dakwah, mereka tidak pernah bergeser sedikitpun langkah dan jiwanya. Malah semakin mantap komitmen mereka pada jalan Islam ini. Ka’ab bin Malik pernah ditawari Raja Ghassan untuk menetap di wilayahnya dan mendapatkan kedudukan yang menggiurkan. Tapi semua itu ditolaknya sebab hal itu justru akan menimbulkan mudharat yang jauh lebih besar lagi.

Demikian pula kita merasakan ketegaran Imam Hasan Al Banna dalam menghadapi tribulasi dakwahnya. Ia terus bersabar dan bertahan. Meski akhirnya ia pun menemui Rabbnya dengan berondongan senajata api. Dan Sayyid Quthb yang menerima eksekusi mati dengan jiwa yang lapang lantaran aqidah dan menguatkan sikapnya berhadapan dengan tiang gantungan. Beliau dengan yakin menyatakan kepada saudara perempuannya, ‘Ya ukhtil karimah insya Allah naltaqi amama babil jannah. (Duhai saudaraku semoga kita bisa berjumpa di depan pintu surga kelak’).

Ikhwah, setelah melihat beberapa teladan dalam sikap tsabat tersebut, mari kita pahami, kemudian kita miliki sikap tersebut dalam amal – amal dakwah kita. (Al Istiqamah alal Huda). Berpegang teguh pada ketaqwaan dan kebenaran hakiki, tidak mudah terbujuk oleh bisikan nafsu rendah dirinya sekalipun. Sehingga diri kukuh untuk memegang janji dan komitmen pada nilai-nilai kesucian. Ia tidak memiliki keinginan sedikit dan sekejap pun untuk menyimpang lalu mengikuti kecenderungan hina dan tipu muslihat setan durjana. Dan sikap ini harus terus diri’ayah dengan taujihat dan tarbawiyah sehingga tetap bersemayam dalam sanubari yang paling dalam. Dengan bekalan itu seorang kader dapat bertahan berada di jalan dakwah ini.

 “Duhai pemilik hati, wahai pembolak balik jiwa, teguhkanlah hati dan jiwa kami untuk senantiasa berpegang teguh pada agama-Mu dan ketaatan di jalan-Mu”.

‘Ya ukhtil karimah insya Allah naltaqi amama babil jannah. (Duhai saudaraku semoga kita bisa berjumpa di depan pintu surga kelak’)

Sejatinya, siapa saja yang pernah membuka hati kita? Atau, apa saja yang pernah kita gunakan untuk membuka hati kita, agar menerima kebenaran konsepsi Islam, agar masuk dalam rumah Islam yang penuh cahaya? Juga, cara apa yang pernah kita gunakan untuk membuat kita tunduk, sujud, menyungkur, menghamba hanya kepada Allah saja ? Siapa saja dan apa saja itu?

Dengan metode apakah kita pernah sanggup melunakkan hati ini agar bersedia melepaskan segala keangkuhan diri? Dengan apakah kita pernah sanggup meremehkan segala angan-angan materialistis? Dengan bekal apakah kita pernah menghiasi hati ini agar memiliki kelembutan dalam merasakan, ketegasan dalam memilahkan, ketajaman dalam merencanakan, kebeningan dalam menimbang, ketepatan dalam memutuskan? Dengan sistem apa kita pernah bias menjinakkan hati ini agar memiliki berbagai keindahan penampilan, agar menghias diri ini dengan sifat malu, agar memagari diri dengan bashirah, agar menyelimuti diri dengan sikap amanah?

Apakah yang pernah mampu memasukkan rasa tenteram dan damai dalam hati seseorang, sehingga ia tenang dalam keislamannya? Apakah yang pernah mampu memasukkan rasa senang dan gembira dalam jiwa ini, sehingga kita pernah merasa ringan dalam meniti jalan dakwah yang dipilihnya? Siapakah yang pernah mampu merembeskan kasih sayang dalam dada kita, sehingga kita menjadi teduh dan tenang dalam gerakannya? Siapa pula yang pernah mampu menaburkan benih-benih kekuatan dan ketegaran dalam lubuk hati kita, sehingga kita rela mengorbankan diri, harta, waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan jiwanya hanya untuk membela jalan Allah?

Siapakah yang pernah bisa menanamkan rasa cinta dalam rongga pikiran dan hati kita sehingga kita bisa terikat dalam jalinan ukhuwah dengan saudara-saudaranya seiman dan sejalan perjuangan? Siapa pula yang pernah menabur benih benci dan permusuhan dalam sanubari kita, sehingga kita pernah piawai menolak dan memerangi segala ajakan hawa nafsu dan kesesatan?

Siapakah itu dan apakah itu?

Rasanya murabbi kita dan halaqoh kita dahulu pernah melakukan sesuatu yang membuat sebagian kita pernah bisa melakukan sesuatu yang mulia dan pernah piawai meninggalkan sesuatu yang rendah.

Dia pernah ada dalam sebagian hidup kita. Dia adalah sebagian yang pernah ada dalam hidup kita. Dia pernah ada di sebagian dari kita. Pernah ada.

Lalu tiba masanya
Lalu tiba masanya, dia tak lagi menarik. Tak lagi menawan. Terlihat mulai belepotan. Terlihat sedikit coreng di mukanya. Seiring dengan coreng yang juga ada di muka kita sendiri.

Lalu tiba masanya, kita juga harus bergerak seperti geraknya. Kita harus menari seperti tariannya. Lalu tiba saatnya kita harus menyuarakan sesuatu yang berasal darinya. Lalu tiba saatnya, kita harus melaju dan dinilai.
Lalu datang masanya, kita merasakan keringlah majlis itu. Ia tak lagi sejuk. Sejuk dalam sebagian artinya adalah menyajikan banyak ilmu tanpa tuntutan gerak. Dan tak sejuk lagi adalah adanya tuntutan untuk menyuarakan apa yang berasal darinya kepada yang lain. Lalu tiba masanya, kita merasakan keringnya majlis itu. Kering pada sebagian arti yang kadang kita sembunyikan adalah adanya karena adanya tuntutan untuk bergerak, tak cuma duduk mendengar untaian kalimat indah.

Lalu tiba masanya kita seperti didikte. Lalu tiba masa masa sulit mengendalikan hasrat materi kita. Lalu tiba masanya kita sulit bergerak lincah seperti di kemudaan kita. Lalu, tiba tiba saja, kita menjadi lebih pintar melihat kekurangannya. Dia memang tak lagi terampil menyajikan solusi, tapi masalah kita menjadi liar dan meluas secara cepat. Lalu, tiba tiba saja, kita melihat ketidakberdayaannya dan ia tak lagi menarik.

Dia pernah ada dalam sebagian hidup kita
Tapi dia pernah ada dalam sebagian hidup kita. Dia adalah sebagian yang pernah ada dalam hidup kita. Dia pernah ada di sebagian dari kita. Dia pernah sedemikian dekat dengan dinding kamar kost, dengan kursi kuliah kita, dengan tumbukan buku kita, dan ia pernah ada disekitar indera kita. Pernah ada.

Mari mengingatnya kembali.

Halaqah Tarbawiyah
Halaqah Tarbawiyah adalah proses tarbiyah secara rutin dalam dinamika kelompok untuk mencapai ahdaf (tujuan-tujuan yang hendak dicapai) melalui berbagai program dan ketentuannya. Murabi bisa mentarbiyah mutarabi sesuai kesanggupan optimalnya mengelola forum; baik dari segi jumlah personal dalam satu kelompok maupun jumlah kelompok halaqah tarbawiyah yang ditanganinya.

Murabi (Pembina) adalah seseorang yang melakukan program tarbiyah sesuai dengan tahapnya. Kata ini digunakan untuk menunjukkan sekaligus murabi (laki-laki) dan murabiyah (perempuan). Mutarabi adalah seseorang atau sekelompok orang yang tengah mengikuti program tarbiyah. Kata ini digunakan untuk menunjukkan sekaligus mutarabi dan mutarabiyah.
Indikasi keberhasilan tarbiyah dapat dilihat pada tercapainya tujuan-tujuan (ahdaf) dan muwashafat setiap tahap sesuai target waktu. Muwashafat adalah sifat-sifat yang diharapkan muncul pada diri peserta tarbiyah selama masa pentarbiyahan sesuai tahapnya Dengan demikian, yang menjadi pokok perhatian dalam tarbiyah adalah upaya pencapaian tujuan dan muwashafat setiap tahap sesuai target waktu, dengan menggunakan berbagai macam sarana, materi dan program.

Tersampaikannya materi bukanlah tujuan di dalam tarbiyah. Terlaksananya kegiatan-kegiatan bukanlah tujuan dari proses tarbiyah. Materi hanyalah sarana mencapai tujuan. Kegiatan juga hanya sarana untuk mencapai tujuan. Dengan demikian mentarbiyah adalah sebuah proses dan manajemen menghantarkan peserta mencapai tujuan, dalam waktu tertentu.

Lalu ada berapa tahap?

Lalu ada berapa tahapan?
Dakwah dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan mad’u menerima dakwah. Prinsip dakwah yang relevan dan yang dikenal luas adalah ; at ta’rif qobla taklif (Pengenalan sebelum pembebanan). Nabi Muhammad saw menasehati kita untuk berinteraksi dan menyampaikan gagasan sesuai dengan kadar berpikir mad’u. Maka, dakwah, tarbiyah atau pembinaan dilakukan secara bertahap.

Lalu ada berapa tahapan?

Sebenarnya bukan berapa tahap yang penting untuk dibahas
Sebenarnya bukan berapa tahap yang penting untuk dibahas. Kita bisa sangat berbeda dalam hal jumlahnya. Yang harus dikedepankan adalah persoalan amal dakwah apa yang ada. Lalu Amalud da’wah itulah yang kemudian menentukan jumlah tahapan dalam tarbiyah.

5 amalud da’wah
Sepanjang yang saya ketahui, ada 5 amalud da’wah yaitu ;

1. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mengubah atau mentransformasikan kebodohan (al jahalah) ke kondisi kefahaman (al ma’rifah). Dalam adagium bahasa arab, amal ini biasa dirumuskan dengan ’Tahwilul jahaalati ’ilaal ma’ifah’.

2. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mengubah kefahaman atau mentransformasikan kefahaman dalam diri menjadi fikrah atau gagasan. Dalam adagium dakwah biasanya dirumuskan dengan ; ’Tahwilul ma’rifah ’ilaal fikrah’.

3. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransfomasikan gagasan menjadi gerakan. Yang dalam rumusannya biasanya dikenal dengan ungkapan ; ’Tahwilul fikrah ’ilaal harokah’.

4. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransformasikan gerakan menjadi sebuah natijah. Natijah kerap diartikan dengan arti hasil. Maka pada amalud da’wah ini, peserta tarbiyah sedang melakukan transformasi gerakan menjadi sesuatu yang memiliki arti atau hasil. Kita mengenal aktivitas ini dengan ungkapan ; ’Tahwilul harokah ’ilaa an natijah’.

5. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransformasikan natihah menjadi ghoyah. Ghoyah adalah tujuan. Apa perbedaan antara Natijah dan Ghoyah. Ghoyah adalah tujuan, mungkin semacam orientasi hidup. Sedangkan Natijah adalah hasil dalam jangkan yang lebih pendek dan lebih semacam proyek. Maka dakwah dalam aktivitas ini adalah upaya mengajak manusia menjadi seorang yang berorientasi dakwah dalam seluruh aspek hidupnya.

Kelimanya khas meski mungkin tidak berupa patahan yang tegas.

Keberadaan kelima aktivitas ini membuat kita mengenal tahapan dakwah. Sebenarnya penamaan tahapan itu tidak lain adalah penamaan terhadap aktivitas dakwah (amalud da’wah). Untuk aktivitas ’Tahwilul jahaalati ’ilaal ma’ifah’ , kita menyebut lembaganya sebagai lembaga ta’lim atau tabligh. Untuk aktivitas ’Tahwilul ma’rifah ’ilaal fikrah’ dan ’Tahwilul fikrah ’ilaal harokah’, kita mengenal sebuah marhalah da’wah yang kita sebut dengan Takwin. Untuk aktivitas mentransformasikan gerakan menjadi sebuah natijah,, kita mengenal marhalah tandzim. Dan marhalah tanfidz adalah sebuah episode dakwah yang mentransformasikan natijah menjadi ghoyah. Jadi, kita mengenal 5 marhalatud da’wah ; ta’lim, tabligh, takwin, tandzim, dan tanfidz.

Maka, bukan penamaannya yang terpenting, namun alamatud da’wah-nya yang lebih penting. Apa hebatnya kita merasa ada di marhalah dakwah yang kita nilai prestisius jika kita tak melakukan amalud da’wah yang sesuai? Apa ada alasan untuk sedih ketika faktanya kita sedang melakukan amal dakwah yang tampak tak terlalu ’tinggi’? Bukan penamaan yang terpenting dalam tarbiyah ini.

Juga bukan soal jumlah yang menentukan ’benar’ atau ’tidaknya’ sebuah gerakan. Bukan semakin banyak berarti semakin bagus, sebagaimana bukan berarti semakin sedikit berarti semakin bagusnya sebuah cita cita gerakan dakwah. Jumlah bisa berbeda beda, nama tahapan bisa diperdebatkan, dan definisi bisa sangat beragam. Berbangga bangga pada tahapan -yang sebenarnya bersifat teoritis- adalah hal yang mencerminkan hal sebaliknya dari kematangan individual.

Setiap tahapan menuntut kita untuk memainkan peran yang khas. Pada tahapan ta’lim wa tabligh, kita mungkin lebih banyak menerima, bersikap sebagai murid, menghafal, mengulang, melatih/riyadhoh, dan terus mengunyah ide dan gagasan serta mencatat dan mengamalkan ilmu yang disampaikan murabbi atau pak kyai atau sang muballigh. Kita dengar dan kita pikirkan dengan seksama. Sesekali menunjukkan dan berbagi ide serta gagasan adalah bagus untuk persiapan selanjutnya. Tapi kita harus sadar bahwa kita sedang menghilangkan sekian ketidakmengertian dan emnggantinya dengan pemahaman yang bagus. Maka –sebenarnya- kekaguman pihak eksternal terhadap perubahan kita bukanlah hal yang menjadi prioritas utama. Marhalah ini sebenarnya tak bagus jika terlalu ramai dan gegap gempita.

Murabbi, ustad atau pak kyai yang sedang mentransformasikan kebodohan menjadi pemahaman ini juga tak boleh terlalu terpukau dengan pertunjukkan yang sesekali itu. Tak boleh tergesa gesa dan menikmati ini secara berlebihan. Kadang ini lebih sering menipu daripada memberi manfaat.

Tahapan ini bukan sama sekali tak boleh menunjukkan aksi. Tapi aksi bukan hal utama dalam tahapan ini. Justru di sini kadang ironis. Pada tahapan ini, energi besar –jika tak bisa disebut terbesar- adalah pertunjukkan dan penampakkan. Inqilab dan revolusioner. Bagus. Tetapi itu bukan kewajiban marhalah. Kewajiban kita sebagai mutarabbi adalah menguatkan energi untuk bersikap mulia dan menguatkan pemahaman.

Ini bukan salah kita semata. Dunia menuntut kita untuk tampil dengan sedikitnya kesiapan kita. Dunia tak pernah menunggu. Selalu ada target di depan kita yang mengharuskan kita melangkah dan bahkan berlari. Allah maha mengerti apa yang terbaik untuk kita. Tapi di saat seperti itu, kita harus sadar bahwa harokah bukanlah target utama kita dalam marhalah ini. Seperti kalimat awal saya, tahapan tahapan ini memang khas tetapi tak selalu tegas dalam perbedaannya.

Penutup
Seperti anak anak, tarbiyah yang baik adalah tarbiyah yang menumbuhkembangkan seluruh aspek kehidupan kita. Ada saatnya kita perlu bergerak dengan gerakan yang diinginkan. Ada masanya kita harus menari sebagaimana tarian yang seharusnya. Dan ada masanya, kita harus mendukung gagasan gagasannya. Ini bukan hal yang istimewa.

Di manapun dan kapanpun, kita akan selalu dihadapkan dengan adaptasi, internalisasi, komitmen, dan menjadikan beberapa hal menjadi fikrah. Jika pada masanya kita mampu beradaptasi dengan hasrat kemudaan kita, jika pada masanya kita mampu menginternaslisasi nilai nilai itu dan membuat kita menjadi istimewa, jika pada masanya kita sanggup berkomitmen dan menghargainya, maka menjadi pribadi yang adaptif dan berkomitmen bukanlah barang baru. Cuma memang ujianNya bukan lagi jadwal kuliah, Indeks Prestasi, dan pernik pernik kampus. Sudah ada tangan kecil anak anak, sudah ada senyum manis istri, sudah ada lelaki yang membanggakan para akhwat, dan sudah ada sekian masalah baru yang kemarin tak pernah kita ketahui.

Jika ini masa untuk beradaptasi dan berkomitmen dengan dunia baru kita, maka semoga Allah memudahkan urusan ini. Karena ini tak mudah juga. Akan muncul keinginan untuk tak berkomitmen. Akan muncul godaan untuk tampak bebas. Akan tiba masanya sebutan independen terasa sangat menggoda. Akan ada masa masanya.

Semoga adaptasi dan komitmen itu memudahkan kita semua. Amiin...

Ya, apakah yang pernah mampu memasukkan sejumlah konsep kebenaran ke dalam lubuk sanubari ini dan siapa pula yang pernah menjaganya? Apa yang pernah mampu meneguhkan keyakinan kita akan kebenaran jalan da’wah? Apa yang pernah mampu memantapkan pilihan-pilihan jalan ketika kita harus memilih antara kebaikan dan keburukan? Siapa pula yang pernah mampu melepaskan kegamangan sikap tatkala kita berada di penghujung bahkan persimpangan jalan?

Siapa, ya, siapakah orang, yang pernah mampu menghapuskan kenangan-kenangan jahiliyah pada benak kita yang ingin bertaubat dan memperbaiki diri? Siapa yang pernah bisa menuntun hati kita untuk senantiasa setia meniti kebaikan demi kebaikan, dan tidak terpelanting kembali ke dunia kejahatan? Siapa yang pernah mampu meneguhkan hati kitadalam kebenaran, agar tidak terbelokkan meniti jalan setan? Siapa yang mampu meluruskan orientasi pandangan kita, agar tidak berpaling dari nilai-nilai kebenaran?

at ta’rif qobla taklif (Pengenalan sebelum pembebanan)