Persoalan
salat adalah merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam
Islam. Dalam menunaikan kewajiban salat, kaum muslimin terikat pada
waktu-waktu yang sudah ditentukan “sesungguhnya salat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang-orang yang
beriman” (QS. An-Nisa: 103). Konsekuensi logis dari ayat ini adalah
salat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus
mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun
Al-Hadis.
Sebelum
mengkaji lebih jauh persoalan awal waktu salat, terlebih dahulu
perlu dipertanyakan: apakah awal waktu salat itu benar-benar ada?
Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan istilah awal waktu, yang ada adalah
istilah kitaban mauquta. Meskipun demikian, istilah awal waktu salat
sudah demikian populer dikalangan masyarakat. Lalu dimana dapat
dijumpai istilah awal waktu salat. Jika dibaca kitab-kitab klasik
dengan teliti dan cermat terutama yang mengkaji persoalan-persoalan
fikih maka akan ditemukan. Dalam kitab-kitab tersebut ada bab khusus
yang berjudul mawaqit as-salat, disinilah akan ditemukan istilah
dimaksud. Hampir seluruh kitab fikih pada saat membicarakan salat
ada bab khusus yang membicarakan mawaqit as-salat.
Dari
sini jelas bahwa istilah awal waktu salat merupakan hasil ijtihad
para ulama ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang
berkaitan dengan waktu salat.
Waktu-waktu Salat: Sebuah Kajian Ulang.
Sepanjang
penelusuran penulis ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan
landasan dalam menetapkan awal waktu salat bersifat interpretatif.
Sebagai implikasinya muncul perbedaan dalam menetapkan awal waktu
salat. Kelompok pertama berpandangan bahwa awal waktu salat ada
tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal waktu
salat ada lima (lihat Muhammad Jawad Muqniyyah. At-Tafsir al-Kasif,
15:74).
Di Indonesia yang lebih berkembang adalah pendapat kedua. Hal ini didasarkan pada pemahaman terhadap Q. S. An-Nisa’ ayat 103, Al-Isra’ ayat 78, dan Q. S. Taha ayat 130 yang didukung pula dengan hadis dari Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Tirmizi. Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis tersebut dirinci ketentuan waktu-waktu salat sebagai berikut: (1) Zuhur, Waktu Zuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi (culmination) dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu Asar, (2) Asar, waktu Asar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tibanya waktu Magrib, (3) Magrib, waktu Magrib dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.
Rumusan-rumusan tersebut masih membuka peluang untuk didiskusikan. Akhir-akhir ini bermunculan software tentang awal waktu salat yang merumuskan awal waktu salat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah software Islamic Finder. Selengkapnya perhatikan tabel berikut.
Di Indonesia yang lebih berkembang adalah pendapat kedua. Hal ini didasarkan pada pemahaman terhadap Q. S. An-Nisa’ ayat 103, Al-Isra’ ayat 78, dan Q. S. Taha ayat 130 yang didukung pula dengan hadis dari Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Tirmizi. Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis tersebut dirinci ketentuan waktu-waktu salat sebagai berikut: (1) Zuhur, Waktu Zuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi (culmination) dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu Asar, (2) Asar, waktu Asar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tibanya waktu Magrib, (3) Magrib, waktu Magrib dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.
Rumusan-rumusan tersebut masih membuka peluang untuk didiskusikan. Akhir-akhir ini bermunculan software tentang awal waktu salat yang merumuskan awal waktu salat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah software Islamic Finder. Selengkapnya perhatikan tabel berikut.
Posisi Matahari dalam Penentuan Waktu Salat
Dari
ketentuan yang termuat dalam Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami
bahwa ketentuan salat tersebut berkaitan dengan posisi matahari pada
bola langit. Karena itu, dalam penentuan awal waktu salat, data
astronomis (zij) terpenting adalah posisi matahari, terutama tinggi,
h, atau jarak zenit (bu’du as-sumti), Zm = 90 – h. Fenomena awal
fajar (morning twislight), matahari terbit (sunrise), matahari
melintasi meridian (culmination), matahari terbenam(sunset), dan
akhir senja (evening twilight) berkaitan dengan jarak zenit matahari
(lihat Moedji Raharto, Posisi Matahari Untuk Menentukan Awal Waktu
Salat, p. 8).
Awal waktu Zuhur
dirumuskan sejak seluruh bundaran matahari meninggalkan meridian,
biasanya diambil sekitar 2 menit setelah lewat tengah hari (Ibid,
lihat juga Mohammad Ilyas, A Modern Guide to Islamic Calendar, Times
& Qibla, 1984). Saat berkulminasi atas pusat bundaran matahari
berada di meridian. Dalam realitasnya, untuk kepentingan praktis,
waktu tengah cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan
terbenam.
Awal waktu Asar,
berdasarkan literatur-literatur fikih tidak ada kesepakatan. Hal
ini dikarenakan fenomena yang dijadikan dasar tidak jelas. Dalam
hadis yang diatas, Nabi SAW. Diajak salat Asar oleh malaikat Jibril
ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada
keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali
tinggi benda sebenarnya. Meskipun dapat disimpulkan bahwa awal Asar
adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi
masih menimbulkan beberapa penafsiran karena fenomena seperti itu
tidak dapat digeneralisasi sebab bergantung pada musim atau posisi
tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu
Zuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih
panjang dari pada tongkatnya (baca Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh
Al-Islamiy, I:509).
Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu Zuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin(Depag RI. Penentuan Jadual Waktu Salat Sepanjang Masa, 29). Pendapat lain menyatakan bahwa salat Asar merupakan waktu pertengahan antara Zuhur dan Maghrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit matahari. Pendapat ini diperkuat dengan ungkapan as}-S}ala>ti al-Wust}a (salat yang di tengah-tengah) dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 238 yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir sebagai salat Asar (Sa’di Husain Ali Jabr. Fiqh al-Imam Abiy Thaur, p. 183). Jika pendapat ini yang digunakan, waktu Asar akan lebih cepat dari jadwal salat yang berkembang selama ini.
Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu Zuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin(Depag RI. Penentuan Jadual Waktu Salat Sepanjang Masa, 29). Pendapat lain menyatakan bahwa salat Asar merupakan waktu pertengahan antara Zuhur dan Maghrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit matahari. Pendapat ini diperkuat dengan ungkapan as}-S}ala>ti al-Wust}a (salat yang di tengah-tengah) dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 238 yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir sebagai salat Asar (Sa’di Husain Ali Jabr. Fiqh al-Imam Abiy Thaur, p. 183). Jika pendapat ini yang digunakan, waktu Asar akan lebih cepat dari jadwal salat yang berkembang selama ini.
Waktu Magrib
dalam ilmu falak berarti saat terbenam matahari (ghuru>b),
seluruh piringan matahari tidak kelihatan oleh pengamat. Piringan
matahari berdiameter 32 menit busur, setengahnya berarti 16 menit
busur, selain itu di dekat horison terdapat refraksi (inkisa>r
al-jawwi) yang menyebabkan kedudukan matahari lebih tinggi dari
kenyataan sebenarnya yang diasumsikan 34 menit busur. Koreksi
semidiameter (nishfu al-Quth}r) piringan matahari dan refraksi terhadap
jarak zenit matahari saat matahari terbit atau terbenam sebesar 50
menit busur. Oleh karena itu terbit dan terbenam matahari secara
falak ilmiy didefinisikan bila jarak zenit matahari mencapai Zm= 90
50`. Definisi itu untuk tempat pada ketinggian dipermukaan air laut
atau jarak zenit matahari Zm= 91 derajat bila memasukkan koreksi
kerendahan ufuk akibat tinggi posisi pengamat 30 meter dari
permukaan laut. Untuk penentuan waktu Magrib, saat matahari terbenam
biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan salat tepat
saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.
Waktu Isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah (asy-Syafaq al-Ah}mar) di bagian langit
sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (Q. S. Al-Isra’ ayat 78).
Peristiwa ini dalam falak ilmiy dikenal sebagai akhir senja astronomi
(astronomical twilight). Pada saat itu matahari berkedudukan 18 derajat di
bawah ufuk (horizon) sebelah barat atau bila jarak zenit matahari=108
derajat (baca Saadoe’ddin Jambek. Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, p.11).
Waktu Subuh adalah sejak
terbit fajar sidik sampai waktu terbit matahari. Fajar sidik dalam falak
ilmiy dipahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), cahaya
ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari
berada sekitar 18 di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108 derajat).
Pendapat lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat
posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari=110
derajat.
Di Indonesia pada umumnya (atau
hampir seluruhnya), salat Subuh dimulai pada saat kedudukan matahari 20
derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon). Hal ini bisa dilihat misalnya
pendapat ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu Saadoe’ddin Djambek
disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai mujaddid al-hisab (pembaharu
pemikiran hisab) di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa waktu Subuh dimulai
dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan
terbitnya matahari. Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar
didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20 derajat dibawah ufuk sebelah
timur.
Hal senada juga diberikan oleh Abdul Rochim yang menyebutkan bahwa awal waktu Subuh ditandai nampaknya fajar sidiq dan dianggap masuk waktu Subuh ketika matahari 20 derajat di bawah ufuk. Jadi jarak zenit matahari berjumlah 110 derajat (90+20). Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu = -01 derajat.
Hal senada juga diberikan oleh Abdul Rochim yang menyebutkan bahwa awal waktu Subuh ditandai nampaknya fajar sidiq dan dianggap masuk waktu Subuh ketika matahari 20 derajat di bawah ufuk. Jadi jarak zenit matahari berjumlah 110 derajat (90+20). Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu = -01 derajat.
Penulis melihat pemikiran
Saadoe’ddin Djambek dan Abdur Rachim di atas nampaknya masih banyak
dipengaruhi oleh Syaikh Taher Djalaluddin Azhari. Dalam bukunya yang
berjudul Nakhbatu at-Taqrirati fi Hisabi al-Auqati disebutkan bahwa waktu
subuh bila matahari 20 derajat di bawah ufuk sebelah timur. Oleh karenanya
sudah saatnya kajian awal waktu salat didialogkan dengan hasil-hasil riset
kontemporer agar sesuai tuntunan syar’i dan sains modern sehingga hasil yang
diperoleh lebih valid dan mendekati kebenaran.
0 comments:
Post a Comment